Senin, 24 November 2014

Sejarah Pendidikan dan Kesadaran Nasional Papua Barat




"Sangat menyakitkan hidup bersama bangsa kolonialis,
tetapi saya bersyukur dapat bersekolah dan mendapatkan
pendidikan dari kolonialis,
saya semakin mengerti bahwa kaumku sedang ditindas oleh kolonialis-imperialis, sehingga saya semakin mengerti untuk melawan kaum kolonialis.

Perjuangan menentang kolonial secara terorganisir telah digerakan oleh kelompok terpelajar. Mengapa? Sejarah mencatat, kesadaran selalu lahir melalui dan sebagai proses pendidikan (Latin: e-ducare  Melalui pendidikan orang menjadi kritis memahami persoalan dan sadar akan ketidakadilan, kekerasan langsung maupun tidak langsungyang dilakukan oleh kaum kolonialis imperialis.

Untuk membunuh kesadaran nasionalisme di kalangan penduduk asli (terjajah), mereka (penduduk pribumi) diberi pendidikan yang memang tidak layak (kurikulum yang isinya muatan politis hegemoni penjajaha/penguasa). Hal itu dimaksudkan supaya penduduk pribumi tidak cerdas, kritis dan supaya lebih tunduk pada penjajah, pekerja sebagai kuli penjajah mengisi birorasi dan perusahan-perusahan kolonial-imperialis.

Kebijakan pendidikan Belanda maupun Indonesia dipraktekan secara murni dan konsekuen agar univikasi dan asimilasi dapat terjadi bagi orang Papua.

Kalau kita boleh jadikan Belanda di Indonesia sebagai pelajaran, maka di situ tampak bahwa nasionalisme Indonesia (Jawa) pada masa politik etis telah diawali kelompok terdidik. Saat itu, walaupun praktek politik etik atau kesejateraan dengan bersemboyan demi penyatuan Indonesia-Belanda (univikasi) dan pembauran orang Indonesia-Belanda menjadi warga negara Belanda (asimilasi)[[iv]].

Seorang Sejarawan Indonesia Moedjanto, (2003: 35) menuliskan mengenai politik etik bahw"Konseptor politik 'etika' yang terkemuka, Snouck Hurgronje menghendaki agar univikasi dan asimilasi dipraktekkan secara murni dan konsekuen. Mereka yakin, dengan politik semacam itu Indonesia akan terikat dalam kesatuan kerajaan Belanda secara wajar."[[v]].

Bagaimana dengan pendidikan kolonial-imperialis di Papua Barat?

Tentu saja sekolah dikelola untuk kepentingan penjajah. Namun, rakyat Papua Barat semakin menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang sedang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan dan menyadari bentuk praktek neo-kolonialisme Indonesia.

Dengan begitu, "Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas," kata Paulo Freire, seorang profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri. Pendidikan Belanda di Hindia Belanda dan Papua serta pendidikan Indonesia di Papua telah melahirkan kesadaran nasional Papua Barat.

Pendidikan Kolonial Belanda
Belanda ketika menjajah Papua Barat, ia tidak banyak berperan membangun pendidikan. Pendidikan lebih banyak dikerjakan Misi Katolik dan Zending.  Misi Katolik dan Zending melakukan pelaya
nan untuk kristenisasi melalu karya-karya sosial gereja. Pendidikan modern pun dikenalkan oleh kedua lembaga gereja di ini.

Pendidikan modern ala pemerintah Belanda mulai dibangun di Papua Barat sejak tahun 1940-an. Sekitar tahun 1942,  waktu itu Jepang menguasai seantero Asia (cita-cita Asia Raya) termasuk menduduki Indonesia. Papua Barat sebagai daerah yang dekat dengan kepulauan Pasifik menjadi daerah stategis Jepang untuk melawan Sekutu.

Sebagai bagian dari sekutu, tugas Belanda adalah menghalau Jepang. Ketika itu, Belanda di Papua Barat kekurangan personil untuk menghadapi Jepang dan juga termasuk untuk menangani berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan.

Untuk kepentingan dan kebutuhan itu, tahun 1944, Residen J.P. van Eechoud yang waktu itu terkenal dengan julukan 'vader der Papoea,s' (Bapak orang Papua) mendirikan beberapa sekolah di Hollandia (Jayapura). Selain sekolah Pamong Praja di Hollandia ada juga sekolah pelayaran di Hamadi, sekolah tehnik di Kotaraja Jayapura dan Abepura, sekolah Pamongpraja di Yoka. Sekolah polisi di Base G, sekolah pertanian di Manokwari.

Walaupun sekolah-sekolah ini dibangun untuk kepentingan Belanda, namun Belanda berupaya melakukan Papuanisasi [[vi]] (menananmkan nasionalisme Papua). Dalam bulan Januari 1946, Pemerintah Belanda telah mendirikan sekolah Pamong Praja di Kota Nicca (Kampung Harapan, sekarang). Jumblah siswa yang dididik adalah 400 orang antara tahun 1944-1949.

Terlepas dari tujuan eksploitasi Papua, sekolah-sekolah itu telah melahirkan elit-elit politik terdidik di Papua [[vii]] yang menentang penjajah, menggantikan posisi dalam pemerintahan yang dipegang oleh orang Belanda. Mereka siap mengisi jabatan-jabatan dan lowongan pekerjaan di Papua [[viii]].

Pada saat itu, Pemerintah Belanda mengirimkan sejumlah mahasiswa keluar negeri; antara lain ke negara Belanda, Australia, dan negara-negara di Pasifik. Mereka dikirim dengan tujuan untuk memperoleh pendidikan tinggi dan kembali untuk memimpin bangsanya. Salah satu mahasiswa yang dikirim keluar negeri (Negara Belanda) dalam rangka Papuanisasi itu ialah Frits Kirihio.[[ix]]

Pemerintah Belanda memiliki sumbangan terhadap lahirnya nasionalisme Papua Barat terutama pada masa Residen J.P. van Eechoud. Ketika itu, ada radikalisasi Indonesia, maka setiap orang yang pro-Indonesia ditahan atau dipenjarahkan dan dibuang keluar Papua [[x]]. Tokoh-tokoh nasionalis Papua Barat saat itu antara lain (yang duduk dalam Dewan New Guinea Read), seperti Nicolas Jouwe, P. Torey, Markus Kaisepo, Nicolas Tanggahma, Eliezer Jan Bonai dan ada yang belum disebut di sini.

Mereka adalah kelompok nasionalis terpelajar Papua[[xi]] yang turut memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat lepas dari cengkraman kolonial. Selain itu, beberapa tokoh nasionalis Papua Barat yang telah mendapat pendidikan Eechoud dan menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Marcus dan Frans Kaisepo, Nicolaus Joue, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Mozes Rumah inum, Baldus Mofu, Elieser Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Marten Indey, Johan Ariks, Heman Womsiwor dan Abdullah Arfan [[xii]].

Melalui perantara mereka, rakyat Papua Barat menyampaikan berbagai pernyataan sikap politik untuk menolak menjadi bagian dari Indonesia. Frans Kaisepo (alm.), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).

Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Indonesia ke dalam Papua Barat (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).

Tidak hanya itu, Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri;  Raja Ati (alm.) dari Fakfak; L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij; Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea; Barend Mandatjan (alm.) dan Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua; Permenas Awom (alm);  Jufuway (alm); Arnold Ap (alm); Eliezer Bonay (alm.); Adolf Menase Suwae (alm.); Dr. Thomas Wainggai (alm.); Nicolaus Jouwe; Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing di Papua.

Pendidikan Kolonial Indonesia
Pendidikan sekolah banyak dibuka oleh Indonesia, namun pencerdasan rakyat tidak terjadi selama tahun 1963 -1988. Sekolah yang dibangun pemerintah Indonesia di Papua Barat sebagai tempat melalukan Indonesianisasi agar asimilasi dan akulturasi demi memperkuat
integrasi dapat terjadi. Sementara saat itu kondisi Indonesia ribuan rakyatnya belum cerdas.

Di Papua Barat lembaga pendidikan sekolah pemerintah Indonesia (Inpres), bukan tempat menkecerdasan melainkan mencuci otak orang Papua Barat. Ia berperan sebagai lembaga untuk menyosialisasikan ideologi dan kebijakan penguasa.

Muatan kurikulum mengarahkan kepada apa yang ingin dipasarkan oleh pihak penguasa,[[xiii]] menjelaskan, "Kita melihat Universitas Cendrawasih yang didirikan oleh pemerintah RI pada tahun 1963 untuk mewujudkan agenda meng-Indonesia-kan Papua. Pejabat UNTEA di Papua, Rolls Bennet dan seorang pejabat lainnya yang diberi wewenang membidangi pendidikan kawatir jangan-jangan pemerintah Indonesia memakai Universitas Cenderawasih untuk menghapus aspirasi Papua Barat merdeka."[[xiv]]

Dengan  begitu jelas bahwa, sekolah di Papua tidak melakukan proses pencerdasan. Isi kurikulum dan corak pendidikan dasar disamakan dengan provinsi lain, terutama di Jawa. Hal seperti ini sebagai bentuk hegemoni penjajah. Pendidikan Indonesia di Papua Barat didesain untuk memperkuat integrasi. Pendidikan dasar dan tinggi yang dikelola untuk mengisi lowongan kerjaan dalam pemerintahan telah menjadi tujuan utama [[xv]].

Ross Garnaut dan Chris Manning menulis bahwa Pendidikan di Papua Barat telah berkembang dengan pesat di bawah pemerintahan Indonesia [[xvi]]. Kedua intelektual itu menggunakan data-data tertulis yang ada di Jakarta. Mereka melaporkan bahwa di sekolah-sekolah dasar pada tahun 1972 terdaftar 123. 700 murid, dua kali lebih banyak (kuantitas) dari pada tahun 1961.

Padahal secara kualitas, misi Katolik dan Zending (protestan) memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik  dibanding pemerintah Indonesia di Papua Barat. Ini terbukti, meskipun banyak sekolah telah dibangun pemerintah Jakarta, namun sekolah-sekolah yang dikelola misi lebih mononjol.

Ross Garnaut dan Chris Manning menulis, "Walaupun sekolah dasar negeri tumbuh dengan cepat, dalam tahun 1970, 85%  murid-murud masih terdaftar di sekolah-sekolah misi. Angka ini dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di mana kebanyakan murid sekolah dasar terdaftar di sekolah-sekolah negeri"[[xvii]].

Ketertarikan masyarakat terhadap sekolah-sekolah misi terkait erat dengan pendekatan misi yang disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Dengan begitu sangat dipercayai masyarakat dibandingkan sekolah Pemerintah Indonesia. Lagi pula, Misi telah lama dan sudah mempengaruhi pembangun peradaban masyarakat Papua Barat. Mutu dan kualitasnya lebih baik daripada pendidikan yang dikelola pemerintah Indonesia yang  mutu dan kualitas tertinggal.  

Tidak seperti pendidikan di daerah kota, seperti Jawa dan sebagainya. Diskriminasii seperti itu nampak dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. "Walaupun jumblah murud sekolah dasar di daerah pedalaman di kabupaten Jayawijaya bertambah delapan kali lipat di antanra tahun 1961 dan tahun 1969, jumblah murid Jayawijaya hanya sepertiga angka rata-rata provinsi pada tahun-tahun belakangan ini. Dalam tahun 1969, 6.400 dari 6.600 murid yang terdaftar di sekolah-sekolah di Jayawijaya, adalah murid sekolah dasar"[[xviii]].

Sekolah Inpres yang dibangun pemerintah tidak dilengkapi guru maupun fasilitas belajar. Sekolah-sekolah dibiarkan begitu saja sampai ditumbuhi ilalang karena tidak ada guru, selain guru didikan Misi. Guru-guru pendatang bertumpuk di kota-kota melalui sogokan kepada kepala dinas dan kepala departemen setempat [[xix]].  Bagi mereka, pendidikan yang sekarang diperoleh di sekolah dasar tidak bermanfaat [[xx]] karena tidak mencerdaskan.

Sementara, Universitas Cenderawasih didirikan dalam tahun 1963, sebelum secara sah Indonesia berintegrasi dengan Papua. Setelah Pepera 1969 sudah lebih dari lima puluh persen mahasiswa telah masuk Fakultas Hukum dan sebagian kecil belajar di Fakultas Pertanian atau Fakultas teknik pada tahun 1970. Universitas ini menghadapai banyak masalah seperti Universitas lainnya di Indonesia (terutama di daerah). Mutu pendidikan tidaklah tinggi, kurang dana, buku-buku, perlengkapan dan fasilitas-fasilitas lain [[xxi]].  

Pendidikan formal Indonesia belum diintegrasikan dengan cara hidup masyarakat di desa-desa. Pendidikan sekolah menengah, kejuruan, dan pendidikan tinggi, serta usaha-usaha berbagai departemen dan organisasi-organisasi lainnya yang bertujuan mempersiapkan tenaga terampil yang berguna dalam perekonomian modern kurang terkoordinatif.

Dengan begitu jelas bahwa usaha pemerintah untuk meningkatkan kuantitas pendidikan di Papua Barat tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. Ini dapat dilihat misalnya dari kurangnya tenaga pendidikan, sehingga banyak siswa yang hanya menempu sekolah dasar. Sekolah dikelola untuk kepentingan menjalankan roda pemerintahan di Papua Barat, namun karena rata-rata mayoritas masyarakat yang sekolah pada saat itu entah disengaja atau tidak hanya mencapai sekolah dasar sehingga banyak dari mereka hanya sebagai pekerja kasar.

"RI yang banyak membuka sekolah di tanah Papua, tetapi sebagai alat untuk mengindonesiakan orang Papua. Jadi tujuannya itu Indonesianisasi. Lihat saja banyak orang Papua yang sedang mengangur setelah tamat dari ratusan sekolah yang dibuka oleh Indonesia. Lembaga pendidikannya melimpah tetapi Papuanisasi nol. Karena sasaran pendidikannya itu ialah Indonesianisasi tadi.

Pada masa-masa, tahun 70-an hingga 80-an, anak-anak Papua, khususnya anak-anak pegunungan tengah tidak bisa belajar dengan baik dan tenang karena operasi-operasi militer mengancam kebebasan dan telah mengorbankan puluhan ribuan orang Papua termasuk sisiwa yang belajar. Dalam kondisi seperti itu tentu lahir gerakan perlawanan menolak Indonesia di Papua Barat.

Dari sisi lain, benih-benih nasionalisme Papua Barat merembet dari para serdadu didikan Belanda kepada mahasiswa Universitas Cenderawasih. Dengan begitu Uncen menjadi salah satu tempat lahirnya pejuang dan tokoh-tokoh nasionalis orang Papua Barat seperti Jakop Pray dan juga seorang dosen muda Uncen, Arnold Ap dan beberapa yang lain tidak disebutkan semua di sini.

Di bawah pimpinan mereka berbagai aksi dilakukan untuk menentang NKRI. Juga demonstrasi-demonstrasi yang sering dipicu oleh ulah para tentara dan birokrat Indonesia, yang tanpa malu-malu mengangkut barang-barang mewah peninggalan Belanda seperti kulkas dan mesin cuci listrik - ke tempat asal mereka.

Eksploitasi Pendidikan Anak Papua di Surya Institut


Written By Fmadd Mms on Minggu, 17 November 2013 | 22.43

Mimpi profesor Surya menggapai langit, telah menginjak harkat dan martabat anak-anak Papua dan telah melukai perasaan masyarakat Papua pada umumnya. Prestasi satu-dua orang siswa asal Papua dalam olimpiade matematika-fisika memang dapat dibanggakan namun prestasi tersebut telah dijadikan "prestise"  lembaga untuk menaikan pamor Surya Institut dalam meyakinkan Pemda Papua sebagai penyantun  beasiwa Pendidikan.
Siswa yang mestinya sebagai subyek didik, telah dijadikan objek mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme pendidikan di Surya Institut, nampak dalam sistem managemen yang tidak sesuai Clean and Good Governmet, Responsibilty dan Akuntability tapi justru telah menjadi kroni keluarga Surya, nepotisme dan jejaring bisnis yang menggiurkan.
Masyarakat Indonesia telah mengenal sosok Prof. Surya sebagai orang yang berperan memajukan dunia eksakta terutama dalam prestasi olimpiade matematika dan fisika. Namun dalam perjalanan waktu, misi mulia yang mengangkat harkat dan martabat anak-anak Indonesia justru semakin diwarnai orientasi bisnis yang melumpuhkan misi mulia.
Ekspansi bisnis Surya Institut dengan menampung sebanyak murid dari perwakilan 17 Kabupaten, Utusan Propinsi dan Lembaga serta Pribadi dari Propinsi Papua dan Papua Barat telah menjadi ladang yang menggoda mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Promosi tersebut telah menggiurkan Pemda Papua yang memiliki tekad yang kuat untuk menyekolahkan anak-anak di luar Papua. 
Niat baik Pemda Papua dan kepercayaan masyarakat Papua telah dibelokan pada pendidikan yang berorientasi bisnis. Setiap anak Papua yang masuk dalam program SIP (Surya Intensif Program) telah dijadikan mesin "ATM" yang setiap bulan mencetak uang, namun pemanfaatan keuangan tersebut tidak diarahkan pada pengembangan sarana pendidikan dan pelayanan bagi anak-anak Papua tapi diarahkan untuk "Bisnis Yayasan Surya" dan proyek Surya University yang bangunanya hanya dikontrak.
Sangat disayangkan, siswa SD,SMP, SMU dari Papua dengan membayar lima belas juta perbulan tidak seimbang dengan pelayanan akomodasi, makanan yang sering basih bahkan tidak layak dikonsumsi. Keberadaan Surya Institute dengan program SIP (Surya Intensif Program) dan akan menjadi SAI (Sekolah Anak Indonesia) semakin kehilangan orientasinya apalagi semakin kehilangan murid-murid Papua karena Pemda Papua seperti Kabupaten Merauke telah mengambil langkah menarik semua murid asal Merauke berjumlah 59 siswa (tahun 2013), dengan demikian mulai diikuti oleh Pemda Papua lainya dengan menarik semua murid dan tidak melanjutkan program kerjasamanya. Karena Program SIP Surya Institute sudah pada titik nadir "untrust".
Sejak tahun 2009, Prof. Yohanes Surya bekerjasama dengan PEMDA daerah-daerah tertinggal mengembangkan matematika GASING (Gampang Asyik dan menyenangkan), dimana anak-anak daerah tertinggal itu dapat belajar matematika dengan mudah. Siswa yang dianggap "bodoh" katanya mampu menguasai matematika kelas 1-6 SD dalam waktu hanya 6 bulan. Program ini sungguh jauh dari harapan.
Sebagai informasi, Surya Institute melaksanakan Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Khususnya, Pembinaan dan Pendidikan Sains dan Matematika siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) untuk mempersiapkan siswa mengikuti Ujian Nasional dan Olimpiade.
Data Siswa Program SIP (Surya Intensif Program) pada September 2012: SD,SMP,SMU Seluruh Papua berjumlah 332 siswa dengan rincian sebagai berikut: Asmat (48 Siswa), Kaimana (8), Keerom (15), Lany Jaya (3), LPMAK (1"9), Membrano Raya (5), Jayawijaya (2), Mappi (15), Merauke (73), Mimika (9), Nduga (9), Pribadi (11), Propinsi (48), Puncak (5), Sorsel (4), Tambrauw (20), Tolikara (20), Waropen (2), Yahukimo (1), Yalimo (10).
Selain program SIP, ada juga program pelatihan Guru Pandai Matematika yang terbukti tidak efektif, Siswa SMU yang ikut program Matematika beberapa di antaranya terbukti tidak lulus tes masuk perguruan tinggi, serta  Program Kuliah STKIP yang hingga kini belum terakreditasi statusnya dimana sebagian besar mahasiswa berasal dari perwakilan Papua.
Ada beberapa persoalan mendasar yang dihadapi Surya Institut.
Pertama, Pendidikan Kehilangan Orientasi
Cita-cita awal dengan merekrut siswa yang berbakat dalam jumlah terbatas untuk program olimpiade matematika dan fisika dapat dikatakan menuai hasil, namun ketika merekrut siswa dalam jumlah yang banyak, serta tidak mengikuti proses rekrut yang baik, telah membuat program SIP Surya kehilangan arah. Di satu pihak, mengejar target bidang eksakta dimana siswa dipacu siang-malam belajar matematika dengan jadwal ketat, disiplin yang kaku, bahkan sampai ada kasus kekerasan seperti yang dialami siswa SD IV an. Anton Were dari Merauke dimana mulutnya diberi cobe pedas oleh oknum guru Olimpiade Matematika SD sampai siswa tersebut menjadi trauma tidak ikut kelas olimpiade tetapi sekarang ikut kelas reguler.
Sudah dapat dibayangkan bahwa anak-anak kecil yang ikut kelas Olimpiade sering dipacu adrenalin mengejar "target" antara prestise dan promosi lembaga pendidikan untuk mengeruk keuntungan dari prestasi murid. Sebenarnya untuk berprestasi dalam Olimpiade Matematika banyak  metode dan cara yang lebih  manusiawi sebagaimana sekolah lainnya dapat berprestasi. Sementara untuk kelas regular dalam jumlah yang banyak sudah pasti tidak ditargetkan untuk ikut Olimpade tetapi mengikuti kelas regular namun materi pelajaran tidak sesuai kurikulum Nasional.
Akibatnya untuk menghadapi ujian nasional Pemda Papua harus mengeluarkan biaya transport memulangkan siswa ke daerah asalnya, kemudian ikut program khsusus menghadapi ujian nasional. Kenyataanya siswa yang pernah ikut belajar di Surya Institut mendapatkan nilai yang sama dengan siswa yang bersekolah di Merauke bahkan ada yang dinyatakan tidak lulus. Program SIP di Surya Institute tidak mendapatkan buku rapor apalagi ijasah. Jadi, andaikan siswa lulus program SIP Surya Institute maka siswa tersebut tetap mendapat ijazah dari kampung asalnya.
Kedua, Kehidupan Asrama
Salah satu implikasi "mengakomodasi" jumlah murid yang banyak, yakni: anak-anak semakin tak terkontrol, kurang disiplin, banyak anak yang sakit (cacing, penyakit kulit), makanan kurang bergisi, kurang rapi berpakaian. Selain itu, sarana penunjang dalam asrama: tempat dan peralatan rekreasi, tempat  ibadah belum tersedia. Lebih dari itu, pola pembinaan asrama belum memiliki  metode yang jelas bagi anak-anak Papua.
Orientasi pembinaan asrama tidak memiliki sistem dan pola pendekatan yang sesuai karakter anak-anak Papua. Pembinaan iman sering tidak sesuai keyakinan siswa namun dipaksakan kepada siswa untuk harus ikut doa dan ibadah. Hal ini sering mendapat protes dari orangtua murid.
Anak Papua tercerabut dari akar budaya, akar iman, kasih sayang orangtua. Para pembina tidak memiliki ketrampilan dan pemahaman mengenai karakter dan budaya Papua mengakibatkan anak-anak kehilangan kendali, sering berperilaku kasar,  kaki telanjang, cara berpakaiandan situasi asrama sama seperti kampung asalnya.
Ketiga, Biaya Mahal Pelayanan Minim
Management Surya Institut tidak transparan dalam penetapan biaya  per item program serta tidak akuntabel dalam pelaporan keuangan. Beberapa Pemda di Papua mengalami kesulitan mendapatkan laporan keuangan dari pihak management Surya Institute. Dan karena itu, telah disoroti oleh BPK Propinsi Papua mengenai besarnya biaya pendidikan di Surya Institute.
Indikasi penyimpangan nyata dalam tagihan flate setiap bulan serta ketidaksesuaian antara besaran biaya dan pelayanan.Untuk Program SIP, Perhitungannya: Setiap bulan siswa wajib membayar RP. 15.000.000. Dalam setahun : 12 X 15.000.000 = Rp. 180.000.000 dengan jumlah 332 siswa = Rp. 59.760.000.000. Bagaimana dengan perhitungan sejak dimulainya program 2010 hingga pertengahan 2013?
Bagaimana dengan biaya program lainnya seperti Pelatihan Guru Papua, Matrikulasi anak SMU, STKIP dan program lainnya? Dengan jumlah keuangan tersebut maka sudah dapat membangun sekolah unggulan di beberapa wilayah Papua.
Beberapa item biaya yang kami soroti antara lain:

(1)     Akomodasi: Setiap Kamar dengan ukuran kecil memiliki 4 tempat tidur. Setiap anak membayar Rp3.000.000 perbulan. Berarti setiap kamar dalam sebulan Rp12.000.000. Jadi dalam setahun biaya kamar dengan ukuran kecil Rp144.000.000. Biaya tersebut sudah bisa membiayai sewa rumah/kontrak sejumlah 2-3 unit rumah/pertahun. Bahkan jika membanding sewa kost di Ruko sekitar Surya Inst. Kisaran harga Rp1.000.000 1.500.000 perbulan. Sarana rekreasi dan kegiatan lainnya belum tersedia, kecuali tempat olah raga di lapangan terbuka.
(2)     Konsumsi: Rp. 3.000.000 /bulan/anak tidak sebanding dengan biaya makan minum mahasiswa STKIP Rp. 1.500.000/bulan/anak. Mahasiswa STKIP dan siswa program SIP makanan dari katering yang sama dan sering ada keluhan makanan kedaluarsa, bahkan sewaktu libur (natal) makanan tidak diatur akibatnya anak-anak kelaparan.

 (3)  Transportasi: Setiap bulan dikenakan biaya Rp. 600.000/peranak. Realitanya anak-anak SD yang relatif banyak hanya jalan kaki 100 meter, kecuali SMP/SMU yang relatif  menggunakan dengan jarak dekat.
Kebutuhan harian siswa Rp. 400.000/peranak/bulan (bukan uang saku terima langsung) diserahkan secara acak ke siswa (belum ada laporan realisasi ke siswa), informasi yang diperoleh siswa setiap bulan menerima Rp. 120.000,- sementara anak-anak sering terlihat tidak menggunakan sendal, pakaian tidak rapi, dsb.

 (4)  Honor Pengajar Rp. 3.000.000,- dan Pendamping Rp. 1.750.000 dibebankan kepada setiap siswa perbulan.
(5)    Eksperimen dan pembinaan lomba: Rp. 650.000,- Tidak semua murid diikutsertakan dalam pembinaan lomba (olimpiade), dari 73 Siswa hanya 4 siswa yang ikut dalam pembinaan lomba (olimpiade). Jadi tidak masuk akal membuat perhitungan keseluruhan anak. Untuk lomba olimpiade, ada kekecewaan tersendiri yang dialami oleh Pemda Merauke dimana ke 2 anak yang mestinya ada peluang ke Korea tapi pihak sekolah kurang antisipatif dan kurang respons.
(6)    Kesehatan siswa: Sejak tahun 2011-2012 Surya institut memberikan beban biaya Rp. 400.000,- /anak/bulan. Dalam realisasinya tidak setiap  anak sakit apalagi sakit bersamaan setiap bulan. Itu berarti setiap anak menginvestasi dana kesehatan. Sebagai catatan bahwa: anak dari Mereauke jika sakit (berat) akan dirujuk ke RS Cikini dan menjadi biaya Pemda Merauke.
 
Item biaya lain, belum dapat dipastikan penggunaannya. Yang jelas, jika Dinas Pendidikan dan Pengajaran kabupaten tidak mengkritisi pelaporan keuangan management Surya Institute maka tidak akan diketahui kemana uang tersebut dipakai. Pada intinya management Surya Institut belum dapat menerapkan tata lembaga pendidikan yang baik dan bersih, serta tidak dapat bertanggungjawap dan mempertanggungjawabkan serta belum dapat membangun kepercayaan bagi masyarakat Papua.
Menanggapi persoalan tersebut di atas, beberapa Pemda Papua mulai melakukan tindakan penyelamatan anak-anak Papua serta menyelamatkan uang rakyat Papua dengan mengambil langkah:
Pertama, menarik atau memindahkan seluruh murid-murid (SIP) ke sekolah lainnya sebelum memasuki tahun ajaran baru.
Kedua, merasionalisasi pembayaran dengan membuat perhitungan kembali antara biaya keluaran dan pelayanan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama. Contoh kasus: Pada tahun 2011 Pemda Merauke telah melakukan pembayaran lebih untuk program Matrikulasi SMA, mustinya yang direkrut adalah siswa kelas 2 untuk program 2 tahun, realitanya yang direkrut kelas 3 yang programnya hanya beberapa bulan. Pemda Merauke telah melakukan pembayaran lebih 1.800.000.000,- Pembayaran lebih tersebut tidak dilaporkan oleh pihak manajemen Surya Institut. Hal ini menjadi temuan untuk dipertanggungjawabkan.
Ketiga, mengabaikan atau menundah pembayaran sebelum adanya laporan keuangan dari Management Surya Institute hal ini sesuai dengan tuntutan BPK Propinsi Papua agar tanda bukti transaksi pembayaran dan realisasinya harus dipertanggungjawabkan.
Keempat, membatalkan dan menghentikan program lanjutan, meski Perjanjian Kerjasama belum berakhir. Jika perlu mengambil langkah hukum agar permasalahan menjadi jelas.
Kelima, mempertanyakan dan menuntut kepada Surya Institut program yang tidak terlaksana seperti yang dialami kabupaten Lani Jaya.
Keenam, BPK Propinsi Papua dan Papua Barat segera mengambil langkah untuk melakukan pemeriksaan keuangan di Surya Institute menyangkut uang rakyat Papua.
Ketujuh, Pemda Papua dan Papua Barat mengambil langkah mendirikan sekolah unggulan berpola atau Pendidikan Sekolah berbasis asrama di beberapa wilayah strategis. Adalah lebih baik membangun sekolah unggulan yang menjawab kebutuhan di Tanah Papua.
Jus Felix Mewengkang  adalah  Pemerhati Pendidikan Papua, tinggal di Papu

KEINDAHAN ALAMKU PAPUA


Di ufuk timur negeriku Papua tercinta.
Hamparan pulaumu yang luas diatas samudera raya
Hutanmu menghijau, bagaikan permadani yang terbentang
Lautmu yang membiru menghiasi bibir pantaimu
Menyembunyikan keelokan dan kekayaan alammu dalam kebisuan

Tanahmu yang subur memberi kehidupan tanpa menabur
Butir-butir embunmu.. memberi kelegahan bagi flora dan fauna
Bagaikan sang induk yang menyelimuti anak-anaknya, untuk memberikan pertumbuhan
Perutmu terkandung, gumpalan emas dan batu pualam yang tiada ternilai
Pusarmu mengeluarkan butiran-butiran minyak dan gas yang melimpah

Nyanyian suara burung bergemah, membuka syaduh
Menyambut datangnya fajar, menghentar perginya mentari ke peraduan
Hembusan angin membisikan nyanyian alam
Dedaunan dan ranting pun menari mengikuti irama angin
Oh sungguh merdu nyanyian alam Papua.

                                                                                                                                                                                          Keaneka ragaman suku dan budaya, memperlihatkan eksotisme negeriku                               
Nyanyian suku-suku dalam berbagai bahasa, diiringi dentingan tifa dan seruling
Menari dan berdendang memperlihatkan keelokkan tubuhnya
Menyatakan kepada bangsa, bahwa kami ini satu dalam keanekaragaman budaya dan bahasa
Sebuah bangsa, yang majemuk dan besar, berbeda namun satu dalam gugusan pulau Papua.

Indahnya alamku Papua, tarian dan nyanyian bangsaku merupakan Anugerah Sang ILAHI
Karya terindah dalam ciptaan-NYA bagi anak-anak negeri Papua
Mencerminkan keindahan dan kebahagiaan hati sang Pencipta
Itulah negeriku Papua, di ufuk timur kau berdiri gagah dan abadi selamanya.                                                                     
" okto jeczon woge gobai"                                                                                


keindahan dan kekayaan Alam Papua

Ilustrasi : keindahan dan kekayaan Alam Papua

Kicauan burung cendrawasih terdengar merdu dimana-mana,
Menandakan adanya hari baru,
Indahnya alamku papua membuatku terpaku,
Seperti dunia hanya untuk diriku,

Kupejamkan mataku sejenak,
Kurentangkan tanganku sejenak,
Sejuk , tenang , senang kurasakan,
Membuatku seperti melayang kegirangan,

Wahai alamku papua,
Kekagumanku sulit untuk kupendam,
Dari siang hingga malam, Pesonanya tak pernah padam,

Desiran angin yang berirama di pegunungan maupun di tepian paintai,
Tumbuhan yang menari-nari di pegunungan maupun dilembah,
Begitu indah rasanya, Baik indahnya taman di surga,

Keindahan alam terasa sempurna, Membuat semua orang terpana,
Membuat semua orang terkesima, Agar keindahannya takkan pernah sirna, 

Tapi, 

kini telah menjualmu orang tak dikenal,
keindahan alam terasa tersiksa,
Mendengar Suara penyiksaanmu,
Orang yang mengenal suaramu kini terasa kesedihan,
Berusaha membebaskan dari semua penyiksaanmu

Tempat Tempat Keramaian Di Kabupaten Paniai Sebagai Potensi Kejahatan

Tempat Tempat Keramaian Di Kabupaten Paniai Sebagai Potensi Kejahatan

Tempat Tempat Keramaian Di Kabupaten Paniai Sebagai Potensi Kejahatan

Tempat-tempat billyard dikabupaten paniai sebagai potensi kejahatan yang telah ditutup oleh kepala Distrik Paniai timur pada dua bulan silam, telah diaktifkan kembali oleh pengusaha bersama Brimob kabupaten paniai di enarotali, sehingga tanggal, 26 Desember 2008.siang tadi Kepala Distrik Paniai Timur bertindak tegas untuk segera di tutup kembali dan agen agen jual beli minuman keras (miras) juga harus ditutup kembali kemudian Brimob Enarotali hampir mau tembak Kepala Distrik paniai Timur martinus yogi.


Lanjut Yogi-tempat billyard yang jadikan tempat awal latihan kejahatan bagi orang paniai (westernisasi) menuju kehancuran kehidupan orang paniai dan distulah nilai nilai budaya paniai



akan hilang, dan kehidupan masyarakat paniai kedepan akan hancur maka itu kami mohon kepada Bupati Kabupaten paniai Bersama ketua DPRD kabupaten paniai harus di perdakan bahwa tiadakan untuk mendatangkan minuman dari kabupaten Timika dengan kabupaten Paniai dan tempat tempat Billyard ditutup

Ketua LMA Kabupaten Paniai (john Gobai) menilai keberhasilan pembangunan di kabupaten tersebut tidak terlepas dari dukungan masyarakat Adat, namun demikian pemerintah pada tahun 2009 diharapkan lebih meningkatkan kinerjanya lagi sehingga pembangunan disemua bidang dapat dinikmati masyarakat Adat. “ Masing-masing instansi harus meningkatkan kinerjanya untuk membangun masyarakat di Kabupaten Paniai, karena ketertinggalan kita masih sangat jauh,” katanya
Ketertinggalan dan kinerja pemerintah menjadi salah satu topik pembahasan yang harus di angkat oleh DPRD kabupaten paniai dalam sidang paripuran namun sayangnya sementara DPRD kabupaten paniai dengan pihak pemerintahan kabupaten paniai tapi kedua pihak masih belum ada reaksi untuk mengankat persoalan itu katanya.

“Hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya”

“Hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya”

Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung. Karena Yohanes datang, ia tidak makan, dan tidak minum, dan mereka berkata: Ia kerasukan setan. Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan mereka berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya.” (Mat 11:16-19), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· “Kalau tinggal di rumah terus dikomentari tidak bekerja, sebaliknya ketika banyak meninggalkan rumah alias sering bepergian dikomentari tidak kerasan tinggal di rumah, dst..”, begitulah sering kita dengar kritik atau komentar, mungkin merupakan perhatian atau asal komentar alias yang bersangkutan memang memiliki kebiasaan menilai, mengritik atau mengomentari orang lain. Mereka tidak mau bertanya atau memahami apa yang dilakukan orang lain, namun hanya melihat sekilas apa yang terjadi atau dilakukan. “Hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya”, demikian sabda Yesus. Maka marilah kita menilai atau menyikapi sesama atau saudara-saudari kita setelah dengan cermat melihat apa yang dibuatnya alias setelah mereka mengakhiri kegiatannya bukan sebelumnya. Sebaliknya kita sendiri masing-masing hendaknya lebih mengutamakan perbuatan atau perilaku daripada omongan atau wacana. Renungkan dan hayati pemahaman ini :” Sesungguhnya pengertian budi pekerti yang paling hakiki adalah perilaku. Sebagai perilaku, budi pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku” (Prof Dr. Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 4). Bukanlah perilaku seseorang tidak mungkin dinilai dari/ melalui pengamatan sesaat atau sebentar saja? Maka hendaknya dalam menilai, memberi saran, menasihati atau mengritik orang lain, dengarkan dengan rendah hati dahulu pengalaman-pengalam an kerja atau usahanya: pujilah apa yang baik dan luruskan dengan rendah hati apa yang dinilai tidak baik. Evaluasi, refleksi atau mawas diri merupakan keutamaan yang harus menjadi kebiasaan penghayatan hidup dan cara bertindak kita, sebagaimana menjadi kebiasaan mengadakan ‘pemeriksaan batin’ setiap hari di akhir hari/kegiatan atau menjelang istirahat/tidur malam.

· "Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh. Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah- Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti, maka keturunanmu akan seperti pasir dan anak cucumu seperti kersik banyaknya; nama mereka tidak akan dilenyapkan atau ditiadakan dari hadapan-Ku.”(Yes 48:17-19). Marilah kita lihat, kenangkan, renungkan dan hayati perintah-perintah Tuhan kepada kita, sesuai dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing. Semua perintah kiranya dapat dipadatkan menjadi perintah untuk ‘saling mengasihi’, maka baiklah kita mawas diri perihal perintah ‘saling mengasihi’. ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-7), demikian ajaran kasih dari Paulus. Dari ajaran kasih di atas ini kiranya yang mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan adalah ‘tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain’, mengingat dan memperhatikan begitu banyak orang menyimpan kesalahan sesamanya, yang berkembang menjadi marah atau bermusuhan. Marah berarti melecehkan atau merendahkan yang lain, melanggar hak azasi manusia/harkat martabat manusia. Pemarah hemat saya identik dengan orang sombong. Hendaknya jangan menyimpan kesalahan orang lain, tetapi simpan dan angkat kembali kebaikan-kebaikan yang lain. Marilah berpikir positif terhadap sesama dan saudara-saudari kita, yang berarti senantiasa melihat, mengakui dan mengimani kebaikan-kebaikan orang lain dan dengan demikian kita akan menikimati damai sejahtera lahir dan batin, jasmani dan rohani.

“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.”